Keadaan
Islam Indonesia Awal Abad XX
Melalui hubungan yang panjang dengan jaringan perdagangan dari Tanah
hijaz, islam mulai berkembang di sumatra sekitar abad XIII. Pada abad-abad
berikutnya, pertumbuhan debelahan barat Nusantara mengakibatkan hancurnya
kekuatan besar Hindi-Budha terakhir. Kerajaan majapahit di jawa runtuh pada
awal abad XVI. Besarnya peranan para pedagang dan akaum sufi dalam proses
masuknya agama islam si nusantara sulit untuk dievaluasi dan tentu saja
berbeda-beda di masing-masing daerah. Bersamaan dengan kegiatan ekonomi mereka,
juga ada pedagang yang meluangkan waktunya untuk memberikan pelajaran agama ke
desa-desa di pedalaman. Dari kota pelabuhan, islam berangsur-angsur masuk ke
pedalaman dan pada abad XIX, kehadirannya semakin kokoh dengan tarekat sufi.
Pesanteren, pusat pendidikan dan
dakwah, memainkan peran penting dalam penyebaran agama islam di pedalaman pulau
jawa. Ada kemungkinan beberapa peantren mengambil alih pusat-pusat keagamaan
pra-islam. Pada paro kedua abad XIX jumlah pesantren bertambah banyak. Meningkatnya
arus perdagangan membuat daerah-daerah yang terisolasi di pelosok semakin
banyak berhubungan dunia luar. Mereka benar-benar sudah menjadi dunia kecil
tersendiri yang semakin dipengaruhi oleh timur tengah.
Para santri, belajar pada
guru-guru mereka, para kiai yang kadang-kadang juga merupakan syech sebuah
tarekat. Sekolah-sekolah itu hidup terutama dari hasil pengolahan tanah mereka
dan sumbangan-sumbangan, bukan dari uang sekolah para santri. Biasanya, para
santri berasl dari kalangan pedesaan. De pesantren, para kiai memegang
kekuasaan yang sangat besar. Otoritasnya hanya dapat disangkal oleh seorang
kiai lai yang lebih berpengaruh. Di masyarakat pedesaan ini, peran mereka
sangat banyak, menjadi anutan dibidang keagamaan, memimpn upacara-upacara keagamaan
dan bahkan juga merupakan penasehat kehidupan pribadi para anggota
masyarakatnya. Lingkungan yang harus mereka hadapi yang terkadang berbahaya –
ular dan bahkan ada kalanya harimau – membuat para kiai itu menjadi handal
dalamilmu bela diri tradisional, pencak silat, danhal ini juga memberi andil
yang embuat semakin cemerlangnya kiai tersebut dalam pandangan masyarakat
sekitar. Kiai tentu juga terkenal karena kemampuan meramal atau
kemampuan-kemampuan supranatural mereka dalam bidang penyembuhan. Mereka adalah
pelindung terhadap roh-roh jahat (jin), dan penghubung dengan alam lain.
Para penganut taat dan saleh
yang dekat dengan kiai-kiai, hingga akhir abad XIX di desa-desa jawa masih
sangat sedikit dan seringkali hidup secara terpisah. Mereka disebut sebagai
kaum putihan karena pakaianya yang putih-putih dibanding kaum abangan yang
mengenakan batik tradisional berwarna coklat, yang lebih dekat dengan
kepercayaan mistik pra-islam (kebatihan dan kejawen). Di kemudian hari, istilah
santri dipakai untuk menyebut muslim yang taat melakukan ibadah, sedangkan
abangan biasanya dipakai untuk menunjuk mereka yang tidak menjalankan semua
praktek agama islam secara teratur, juga disebut “muslim nominal”. Clifford
geertz, yang banyak di kritik karena pemakaian kategori tersebut, sebenarya
menggambarkan dengan tepat kadang kadang batas
antara perilaku seorang santri dan seorang abangan ji jawa tahun-tahun
50-an tidaklah terlalu jelas, terdapat bermacam-macam perilaku santri yang kadang-kadang
bisa juga mirip dengan kaum abangan.
Jenis kaum santri pun beraneka
ragam, dari yang perbedaanya dengan tetangga mereka yang abangan tampaknya
hanya terletak pada bertahan diri bahwa ini benar-benar muslim sejati,
sementara tetangga tidak sampai kepada mereka yang janjinya kepada islam
mendominasi hampir seluruh kehidupan mereka.
Pada abad XX, dunia santri makin
menyerap dunia abangan jawa. Usaha reformasi islam di indonesia, yang mulai
awal abad XIX, bertujuan membawa mereka yang tidak sepenuhnya taat dan lebih
dekat dengan adat atau dengan aliran-aliran kebatihan untuk melaksanakan ajaran
islam secara “lebih benar”, artinya lebih sesuai dengan yang diperlakukan di
tanah hijaz, demikiankah, sejak awal abag XIX, para reformis di sumatra barat
menganut puritalisme dengan kaum wahabi, yang menerapkannya melalui kekerasan,
hingga menyebabkan terjadinya perang padri. Mula-mula usaha yang dilakukan oleh
para gury agama ini mendapat dukungan dari sebagian syech sufi, namun kemudian
mereka pun menjadi sasaran kekerasan kaum padri. Peran yang kemudian melibatkan
pihak belanda ini berkobat hampir diseluruh bagian barat pulau dan menyebabkan
kekacauan selama 30 tahun yang akhirnya berhenti dengan ditakhlukkannya daerah
tersebut oleh pemerintah kolonial belanda.
Kemudian para syech dan para kiai
sendiri menjadi sasaran reformasi gelombang kedua, yang datang dari mesir
(salafiyh, yang berarti “kembali kejalan para leluhur”). Pulau jawa baru
mengalami arus reformasi ini pada awal abad XX, dengan berdirinya beberapa
organisasi keagamaan seperti muhammadiyah tahun 1912, kemudian al-irsyad tahun
1915 dan persatuan islam (persis) tahun1923. Dan terjadilah
perdebatan-perdebatan sengit. Para reformis menentang upacara-upacara tertentu,
seperti tahlilan(upacara bagi kematian), selamatan, sesaji, dan cara-cara lain
untuk memohon keselamatan, salah satu yang dijalankan bahan perdebatan sengit
itu adalah maslah mengunjungi makam wali (ziarah) dan kepercayaan terhadap
kemampuan mereka sebagai perantara dalam berhubungan kepada Allah, yang
dianggap syirik dan bidah kaum reformis atau pembaru.
Source
: diktat ke-nu-an oleh sholikhul hadi, m.ag
Emoticon